“Dia sudah jadi dosen, kok kamu belum/tidak?”
“Lihat tuh, dia sudah jadi pejabat, kok kamu masih tak jelas?”
“Contoh tuh, dia sudah jadi manajer perusahaan.”
“Dia sudah punya rumah sendiri, bahkan mobil, sekarang kamu masih begini-begini saja.”
Pertanyaan, atau lebih tepatnya gugatan, seperti contoh-contoh di atas adalah bentuk serangan (offence) yang absurd terhadap wilayah personal, tapi kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari. Pelakunya bisa teman, pasangan hidup, anggota keluarga, guru, atau siapa saja. Umumnya diniatkan sebagai motivasi, tapi serangan seperti itu sesungguhnya tidak valid, tidak perlu, dan iritasinya berisiko destruktif.
Bentuk serangan itu adalah pembandingan individu dalam lingkup yang sesungguhnya sangat luas, multivariabel dan multidimensi, tapi direduksi seakan-akan bisa diukur secara linear dan matematis. Kenapa tidak bisa linear? Karena setiap individu adalah makhluk unik dengan seperangkat garis perjalanan hidup, kemampuan, potensi, kapasitas, dan… (sekal-kali tak boleh diabaikan) persepsi, keinginan, preferensi serta ekspektasi yang unik pula.
Keunikan itu ditegaskan dalam uraian tentang proses penciptaan manusia pada Q.S. 23:14 . “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
Anak manusia diwujudkan dari pertautan kasih sayang ibu-ayah, ditumbuhkan dalam perangkat otentik kasih sayang (rahim) ibu, untuk kemudian dilahirkan ke dunia menjadi makhluk yang lain atau khalqan aakhar. Ia menjadi makhluk yang memiliki garis peran sendiri dalam menunaikan misi kehidupannya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Ibu-ayah mendapat amanat kasih sayang untuk membantu agar anak menemukan dan menempuh jalan kehidupannya yang terbimbing dalam keimanan dan petunjuk Allah swt. Namun, ibu-ayah tentu saja tak dibekali kedigdayaan meneropong realitas masa depan. Ibu-ayah tak mungkin mampu meramalkan, misalnya, alat komunikasi seperti apa yang akan digunakan anak-anak sepuluh dua puluh tahun lagi? Apa jenis pekerjaan yang sesuai dengan potensi anak di masa depan? Seperti apa tatanan sosial yang melingkupi anak di masa depan? Apa tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak di masa depan?
Maka, yang paling dibutuhkan anak dari orangtua sejatinya adalah membantunya membangun otot-otot dasar kehidupan sampai akil balig. Sehingga, ketika titik itu sampai, anak benar-benar siap mengarungi kehidupan, menjalankan peran spesifiknya sebagai khalifah.
Otot-otot kehidupan itu tidak sama dengan adonan pengetahuan yang dituangkan ke kepala. Otot-otot kehidupan itu bukan angka-angka dalam lembaran kertas. Otot-otot dasar kehidupan itu jauh lebih dalam dan luas ketimbang pengetahuan sains, matematika dan bahasa asing. Sebab, otot-otot dasar kehidupan itu menyangkut pengendapan informasi, pengetahuan, pemahaman menjadi konsep yang tertanam sebagai basis sikap, perilaku dan kualitas pribadi yang utuh.
Kualitas pribadi yang utuh tidak sama dengan volume pengetahuan dalam kepala. Kualitas pribadi yang utuh mencakup penjelamaan pengetahuan menjadi daya pikir nalar yang kritis dan sikap serta keterampilan hidup (life skills) dalam wujud kejujuran, tanggungjawab, kedisiplinan, kemandirian, daya juang dan lain-lain.
Dengan demikian, membangun otot-otot dasar kehidupan pada hakikatnya adalah membangun kualitas pembelajar dan cinta belajar, bukan menuangkan himpunan pengetahuan ke kepala. Kualitas pembelajar dan cinta belajar itu tentu saja tidak bisa diukur secara linear, apalagi diperbandingkan dengan ukuran-ukuran angka-angka linear. Bukan hanya menyesatkan dan tidak valid, pengukuran linear dan pembandingan linear terhadap prestasi belajar anak adalah mengingkari sekaligus melanggar fitrah keunikan anak.
Sayangnya, pengukuran paksa (compulsory measurement) adalah ruh sistem pendidikan kita yang berparadigma selective schooling. Dengan paradigma itu, anak diukur, diperbandingkan dan dikompetisikan untuk berebut posisi jalur nasib masa depan. Hasil pengukuran melalui ujian akhir tiap jenjang diperlakukan sebagai label dan karena itu berimplikasi besar pada “nasib” di jenjang berikutnya (high-stake testing). Sehingga, setiap anak Indonesia menghabiskan sebagian besar masa sekolahnya untuk berlatih mengerjakan soal-soal ujian ketimbang belajar.
Kementerian Pendidikan memang sudah menghapuskan fungsi ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Pun, akhir-akhir ini, semakin banyak sekolah yang meninggalkan praktik pencantuman ranking prestasi belajar di buku rapor. Namun, secara global sistem persekolahan Indonesia tetap mengabadikan strata-strata yang dimaklumkan sebagai klasifikasi derajat keunggulan anak. Suka tidak suka, keragu-raguan Menteri Anies Baswedan menghapuskan UN adalah manifestasi dari alam bawah sadar Indonesia yang tetap meyakini sampai tingkat keimanan bahwa pengukuran linear itu valid dan tidak sia-sia.
Akibatnya, sampai kapanpun label “unggul”, “favorit”, atau “bonafide” akan tetap menjadi komoditas dalam dunia pendidikan yang sudah menjelma secara sempurna menjadi industri. Sejak periode paling dini, anak-anak dipaksa menerima adanya strata-strata baku kualitas pribadi, yang direpresentasikan angka-angka linear dalam selembar tabel hasil ujian akhir.
Variasi pilihan pendidikan yang tersedia bagi anak-anak di bagian manapun di Indonesia adalah strata-strata hierarkhis vertikal, bukan keragaman pilihan-pilihan horizontal yang memenuhi minat dan potensi mereka. Semua anak harus diukur dan diadu dalam ketangkasan mengerjakan soal matematika, sains, bahasa Inggris dan beberapa mata pelajaran “penunjang” lain.
Ketangkasan bermusik, melukis, main drama, menari, main bulutangkis, bersastra dan lain-lain cukup menjadi hobi saja. Orangtua menjadi gelisah, misalnya, bila anaknya lebih sibuk “bermain” musik ketimbang “belajar”. Sebab, gambaran masa depan yang tertanam dalam alam bawah sadar adalah masa depan yang mengikuti rangkaian linear sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Maka, pembandingan-pembandingan absurd dalam contoh-contoh di awal tulisan ini pada hakikatnya adalah hasil alamiah dari iklim pendidikan yang serba seragam dan linear tadi. Orang menjadi mudah membandingkan dua obyek tanpa mengindahkan variabel. Jika yang diperbandingkan adalah tokoh politik seperti Walikota Bandung dengan Presiden Indonesia, atau Walikota Surabaya dengan Gubernur Jakarta, entah valid atau tidak, efek negatifnya bisa diatasi dengan kontraopini. Tapi, bagaimana jika yang dibandingkan adalah dua anak kakak-beradik: “kamu kok, tidak seperti kakakmu, yang rajin, pintar dan penurut?” Bekas destruktifnya sangat mungkin masih terasa sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, saat anak-anak bisa mengungkapkan perasaannya sebagai orang dewasa.
Itu sebabnya, dalam praktik pembelajaran dengan Metode Sentra di Sekolah Batutis Al-Ilmi, Pekayon, Bekasi, guru tidak membandingkan progress yang dicapai satu anak dengan anak yang lain. Guru memandang setiap anak memiliki keunikan, termasuk dalam hal kemajuan pembelajaran. Anak bisa mencapai kemajuan lebih pesat di satu aspek perkembangan, tapi di aspek lain mengalami hambatan.
Perkembangan anak hanya bisa diperbandingkan dengan dirinya sendiri (relative to his/her own pace). Sehingga, stimulus yang diberikan guru pada setiap kemajuan yang dicapai anak selalu positif. Misalnya,
“Alhamdulillah, hari ini kamu lebih sabar dan tuntas mengerjakan semua pekerjaan. Selamat, ya.” Dengan begitu, tidak ada anak yang merasa rendah diri, atau sebaliknya, anak yang merasa lebih unggul dibanding teman-temannya. Semua bahagia menapaki tahap demi tahap perkembangan dirinya.
[Artikel ini sudah pernah dimuat di blog pirbadi dengan judul sama: Kebiasaan Membandingkan Prestasi]