• Fri. Jul 26th, 2024

Metode Sentra

Membangun Karakter dan Budi Pekerti

PROFIL SEKOLAH BATUTIS

  • Home
  • PROFIL SEKOLAH BATUTIS

YAYASAN SEKOLAH BATUTIS AL-ILMI

PENJELASAN UMUM

Bergerak di Bidang Sosial/Pendidikan:
  • Menyelenggarakan  Sekolah TK & SD Gratis untuk Kaum Dhuafa Batutis Al-Ilmi
  • Pelatihan  & Seminar Metode Sentra untuk para Guru
  • Seminar  Parenting & Pranikah
  • Pelatihan Penulisan Kreatif & Jurnalistik
  • Penerbitan Buku & Majalah[CloseBox]Yayasan Batutis Al-Ilmi Bekasi didirikan dengan:
    Akte Notaris Ariani L. Rachim, SH, Jakarta No.14/ALR/NOT/XII/2009
    Disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan SK No: AHU-5003.AH.01.04 Tahun 2009
    No. NPWP 21.074.960.2-432.000
    Rekening: Bank Mandiri KCP Bekasi Vila Galaksi 15609 No. Rek.156-00-0435331-6.
    Alamat: Pondok Pekayon Indah Blok BB 29 No. 6 Jl. Pakis V B, Pekayon Jaya, Bekasi Selatan 17148,
    Telp. 0813. 8842.0-811.

Sebelum membentuk badan hukum Yayasan, kegiatan awal kami adalah mendirikan Sekolah Gratis untuk Dhuafa TK Batutis Al-Ilmi pada 5 September 2005 (dimulai dari garasi).

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan pengembangan idealisme, pada 2008 didirikan sekolah lanjutan, yakni  Sekolah Dasar Batutis Al-Ilmi, yang juga gratis untuk kaum dhuafa.

Pada Tahun ajaran 2016-2017, tercatat:

Jumlah Siswa TK =  55 anak, dengan  14 Guru
Jumlah Siswa SD = 105 anak, dengan 16 Guru
Dibantu 8 Karyawan

 

 

DASAR PEMIKIRAN

Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra

Sejak sekolah gratis untuk kaum dhuafa yang kami kelola, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, menerapkan Metode Sentra pada 2006, kami bagai menemukan “setitik cahaya di ujung terowongan.” Begitu melihat hasilnya yang luarbiasa, kami yakin, jika pendidikan anak usia dini di sini diselenggarakan dengan menggunakan Metode Sentra, insya Allah bisa dilahirkan generasi baru bangsa yang lebih baik: cerdas, mandiri, berakhlak mulia.

Model pembelajaran Sentra dikembangkan oleh Pamela Phelps di Florida, Amerika Serikat, sejak tahun 70-an. Metode ini diadopsi dan dibawa ke Indonesia oleh drg. Wismiarti Tamin, pendiri Sekolah Al-Falah di Ciracas, Jakarta Timur, 1996. Kami mempelajari, mengembangkan dan kemudian menyebarluaskannya melalui seminar, pelatihan dan penerbitan majalah Media TK Sentra, setelah menjalani training yang diselenggarakan oleh Sekolah Al-Falah.

Metode Sentra adalah cara belajar-mengajar yang revolusioner bagi pendidikan anak usia dini. Inilah jawaban menyeluruh terhadap kebutuhan bangsa yang kini hibuk mencari formula bagi sebuah “pendidikan karakter” yang bisa mengubah  moral-mental-nalar bangsa ini menjadi lebih baik. Juga sekaligus menjadi jawaban bagi kebutuhan sebuah pendidikan “berstandar internasional” plus Islami.

Paradigma baru

Metode Sentra merupakan paradigma baru di bidang pendidikan dan pengajaran. Mengingat begitu luas tujuan dan cakupannya, di sini hanya akan dikemukakan beberapa prinsipnya yang berbeda dengan metode konvensional.

Dalam pembelajaran dengan Metode Sentra, kurikulum tidak diberikan secara klasikal, melainkan individual, disesuaikan dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Maka, jumlah murid dalam satu kelas dibatasi, maksimal 12 anak. Selama proses pembelajaran, guru dilarang melakukan “3M”: tidak boleh melarang, menyuruh, marah/menghukum.

Basis pembelajaran adalah belajar melalui main

Suasana belajar-mengajar dibangun untuk memberikan rasa nyaman dan bahagia (happy learning). Untuk mencapai suasana tersebut, guru bersama murid duduk dalam lingkaran, supaya posisi mata guru sejajar dengan mata para murid, sehingga tidak ada jarak hierarkial. Maka, di kelas pun tidak ada papan tulis, sebab guru tidak memerlukannya.

Materi ajar disampaikan secara interaktif dan kongkret, dengan menempatkan murid sebagai pusat. Guru pun menyapa para murid dengan sebutan “teman.” Ketika memasuki kelas, guru tidak datang dengan sikap “akan mengajar apa kepada anak hari ini” melainkan “aku akan belajar apa dari anak hari ini.”

Metode ini membangun “kecerdasan jamak” secara bersamaan dan berimbang: kecerdasan logika-matematika, bahasa, tubuh (kinestetik), ruang (spasial), kemandirian (intrapersonal), kepedulian sosial (interpersonal), musik. Seluruh potensi kecerdasan itu dibangun melalui sentra-sentra (wahana) bermain yang meliputi tiga jenis main: main pembangunan, sensorimotor dan main peran.

Ada tujuh sentra yang disediakan agar anak-anak bisa bermain gembira dan mendapatkan banyak pilihan pekerjaan:  Sentra Persiapan (membangun kemampuan keaksaraan); Sentra Balok (merangsang kemampuan konstruksi, prediksi, presisi, akurasi, geometri, matematika); Sentra Seni (membangun kreatifitas, sensori motor, kerjasama); Sentra Bahan Alam (membangun sensori motor, fisika sederhana, pemahaman akan batasan dan sebab-akibat); Sentra Main Peran Besar dan Sentra Main Peran Kecil (mambangun imajinasi, daya hidup, adaptasi, kemandirian, kebahasaan, kepemimpinan); serta Sentra Imtak (iman dan takwa). Setiap hari, anak bermain di Sentra yang berbeda (moving class).

Di setiap Sentra, kemampuan klasifikasi anak dibangun secara terus-menerus agar mereka bisa memiliki konsep berpikir yang benar, kritis, dan analitis. Semua pengetahuan (knowledge) diberikan secara kongkret, tidak abstrak. Anak-anak dirangsang untuk “menemukan sendiri” konsep-konsep faktual mengenai bentuk, warna, ukuran, ciri, tanda, sifat, habitat, manfaat, serta rangkaian sebab-akibat.

Sejak dini, anak pun dirangsang untuk bisa mengekspresikan diri dengan baik melalui kelisanan, tulisan dan gambar. Oleh karena itu, selama proses belajar-mengajar, guru melakukan komunikasi interaktif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang  baik dan benar, agar cara kerja otak anak pun terstruktur dengan baik. Bersamaan dengan itu, dibangun juga laku praksis (bukan hafalan) karakter-karakter luhur berdasarkan sifat-sifat mulia Allah (Asmaul Husna).

Jendela kesempatan

Metode Sentra terbukti sangat efektif digunakan untuk membangun karakter dan kecerdasan anak sejak bayi (usia empat bulan) hingga jenjang SD kelas tiga (usia sembilan tahun). Itulah fase awal dalam kehidupan anak manusia yang oleh para ahli pendidikan disebut sebagai “usia emas (golden age: 0-7 tahun).” Itulah suatu rangkaian waktu yang juga disebut sebagai sebuah “jendela kesempatan” yang akan tertutup sesudah waktu itu berlalu. Itulah masa yang sangat menentukan kualitas dan masa depan anak: sukses atau gagal, jadi ahli surga atau ahli neraka.

Pertanyaannya adalah, sungguh-sungguhkah kita, para orangtua, para pempimpin bangsa, hendak memiliki anak-cucu yang bisa menjadi generasi baru bangsa yang lebih baik? Jika ya, satu hal yang sudah pasti adalah: fondasi bagi kecerdasan dan karakter mulia hanya bisa dibangun ketika anak usia 0-7 tahun. Itu artinya, Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional harus diubah, dan program wajib belajar 12 tahun harus berfokus pada pendidikan anak usia dini!

Itulah yang diyakini dan dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Begitu mengetahui kemerosotan kualitas para pelajarnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh, antara lain, hasil tes PISA 2009 yang menempatkan posisi anak-anak Amerika dalam kemampuan membaca, sains dan matematika pada peringkat 17, 23 dan 31 di antara 65 negara, Presiden Obama langsung berkesimpulan: “Amerika berada dalam bahaya terjengkang ke belakang.” Maka, ia pun menggelontorkan dana US$ 10 miliar untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini, termasuk anak-anak kaum miskin, dan peningkatan kualitas serta gaji para guru.

Kini, kita memiliki sekitar 65 juta anak usia 0-14 tahun, dan separuhnya tidak mampu bersekolah. Kita juga memiliki sekitar 60 juta jiwa orang miskin dan sangat miskin. Maka, kita pun bisa membayangkan, seperti apa masa depan anak-anak mereka. Padahal, mereka juga adalah para ahli waris utang luar negeri sebesar US$ 214,5 miliar, sekaligus merupakan  generasi penerus bangsa yang harkat dan martabatnya ambruk terbenam kemiskinan dan moralitas para pemimpinnya yang buruk.

Oleh karena itu, kita harus segera bertindak untuk memperbaiki nasib dan masadepan puluhan juta anak-cucu yang menangis dan merangkak dalam kebodohan dan kurang gizi itu. Itulah “jendela kesempatan” terakhir bagi kita  untuk melakukan kebaikan di muka bumi.

VISI dan MISI

VISI:

Membangun generasi baru bangsa yang lebih baik: berakhlak mulia, cerdas, mandiri, bahagia, cinta belajar sepanjang hayat.

MISI:

Menyelenggarakan pendidikan gratis tingkat TK dan SD bagi kaum dhuafa.
Menyebarluaskan paradigma baru pendidikan anak usia dini dengan Metode Sentra ke seluruh Indonesia, melalui seminar, pelatihan, lokakarya, dan penerbitan buku-buku dan majalah.

PROGRAM:

PENGEMBANGAN TK GRATIS BATUTIS AL-ILMI

PENGEMBANGAN SD GRATIS BATUTIS AL-ILMI

PELATIHAN/SEMINAR/WORKSHOP METODE SENTRA

Untuk bisa mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak bangsa, diperlukan tenaga-tenaga  pendidik yang juga baik, berkualitas, bersemangat tinggi, dan berakhlak mulia, sehingga bisa menjadi teladan bagi para murid.

Pelatihan guru mutlak dilakukan, sebab hanya dengan cara itu para guru bisa memahami filosofi dan menjalankan model pembelajaran dengan paradigma METODE SENTRA, untuk membangun generasi baru bangsa yang lebih baik: berakhlak mulia, cerdas, mandiri, bahagia, cinta belajar sepanjang hayat.

METODE SENTRA yang dipelajari di Sekolah Al-Falah dan kemudian dikembangkan di Sekolah Batutis Al-Ilmi, ternyata menarik perhatian para guru TK/RA di seluruh Idonesia.

Oleh karena itu, sejak tahun 2007, Yayasan Batutis Al-Ilmi menyelenggarakan Pelatihan Dasar-dasar Pembelajaran dengan METODE SENTRA  untuk para guru yang datang dari seluruh pelosok Indonesia ke Sekolah TK Batutis Al-Ilmi Bekasi, dengan Master Trainer Ibu Siska Y. Massardi.

Selain itu, untuk memenuhi permintaan, kami juga menyelengaraan Seminar dan Workshop Metode Sentra di berbagai sekolah/daerah.

Dalam perkembangan kemudian, tema seminar yang diberikan tidak hanya tentang METODE SENTRA, melainkan juga Parenting dan Seminar Pranikah untuk kaum muda/mahasiswa.

Sebagai Laboratorium Metode Sentra, Sekolah TK & SD Batutis Al-Ilm pun banyak menerima kunjungan observasi rombongan guru dari berbagai sekolah di Indonesia.

PELATIHAN PENULISAN KREATIF & JURNALISTIK

Sebagai sastrawan dan wartawan senior Yudhistira ANM Massardi, Pembina Yayasan & Penanggungjawab Sekolah TK & SD Batutis Al-Ilmi, sejak lama juga menjadi instruktur dan dosen Penulisan Kreatif & Jurnalistik.

Pengalaman dan pengetahuannya diamalkan tidak hanya untuk kalangan kampus, melainkan juga untuk umum, termasuk untuk para guru dan anak-anak sekolah.

PENERBITAN BUKU & MAJALAH

Untuk memenuhi kebutuhan referensi tentang Dasar-dasar Pembelajaran dengan Metode Sentra, kami pun menerbitkan buku-buku dan majalah untuk panduan para guru maupun orangtua.

Buku-buku yang sudah diterbitkan:

Rumah Kisah: Selamat Datang di Garasi

Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra

Bapak, Ibu, Selamatkan Anak-anakmu!

Bahasa Mencerdaskan Bangsa

Majalah Media TK/Panduan Sentra

Profil Sekolah Batutis Al-Ilmi di YouTube

Para murid dan guru Sekolah Dasar (SD) Batutis Al-Ilmi sedang melaksanakan upacara bendera
PROFIL SEKOLAH BATUTIS AL-ILMI BEKASI

Sejak 2006, Sekolah TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi melaksanakan  Pembelajaran dengan Metode Sentra (BCCT)

Metode Sentra diselenggarakan melalui:

Tema

Sentra

Circle Time

Non direct teaching

Discipline with love

Seluruh materi (knowledge) yang akan disampaikan pada anak melalui kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan  perlu diorganisasikan melalui sentra (centre) agar knowledge itu masuk ke anak secara teratur, sistematis terarah sehingga memudahkan anak menganalisa dan mengambil kesimpulan.

Kegiatan main di setiap sentra, setiap hari mempunyai titik pusat (centre) yang telah ditetapkan di lesson plan. Dan kegiatan main di semua sentra menuju ke satu titik yaitu tujuan satu hari (sesuai lesson plan), begitu seterusnya.

Sentra – Sentra

Sentra Bahan Alam
Sentra Main Peran Besar
Sentra Main Peran Kecil
Sentra Imtaq
Sentra Seni
Sentra Balok
Sentra Persiapan
Sentra Musik

Tiga “M” yang Harus Dihindari Guru

Tidak boleh Melarang

Tidak boleh Menyuruh

Tidak boleh Marah/menghukum

Dengan guru tidak melarang,  anak melakukan kegiatan yang mereka senangi, dan mereka lakukan eksplorasi dengan sangat luas

Dengan guru tidak menyuruh, anak dapat berinisiatif untuk membangun kemandirian

Tanpa dimarahi, rasa percaya diri anak  terbangun, dan terhindar dari tekanan “rasa bersalah” dan menjadikan anak yang tenang

Sekolah dengan Metode Sentra  membangun kecerdasan anak sesuai dengan tahapan perkembangan.

Pembelajaran dilakukan secara kongkret, dan melalui prosedur kerja yang rapi.

Setiap Sentra harus mengalirkan nilai-nilai dan pemahaman terhadap:

18 Sikap:

Mutu

Hormat

Jujur

Bersih

Kasih Sayang

Sabar

Syukur

Ikhlas

Disiplin

Tanggungjawab

Khusyuk

Rajin

Berpikir Positif

Ramah

Rendah Hati

Istiqomah

Taqwa

Qana’ah

7 Kecerdasan:

Linguistic Intelligence
Logical Mathematical Intelligence
Musical Intelligence
Bodily-Kinesthetic Intelligence
Spatial Intelligence
Interpersonal Intelligence
Intrapersonal Intelligence

5 Domain:

Aestetik
Afeksi
Kognisi
Psikomotorik
Bahasa dan keterampilan sosial.

SENTRA BALOK                      SENTRA PERSIAPAN

SENTRA BAHAN ALAM            SENTRA SENI

SENTRA MAIN PERAN              SENTRA IMTAQ

MEMANDIKAN BAYI      MEMASAK

MAKAN SIANG              BABY HOUSE

Pengurus

Yayasan Batutis Al-Ilmi Bekasi

PEMBINA:

Yudhistira ANM Massardi

PENGAWAS:

Iwan H. Djalinus

Dwianugerah Hariadi

PENGURUS (Ketua):

Apriska Hendriany

SEKRETARIS:

Tuti Lastari

BENDAHARA:

Dyah Utari Rasyid

ANGGOTA:

Yoyo Juhartoyo

Rasyid Gunawan Kuntowibowo

 

Urgensi Pendidikan di Usia Emas

Oleh Yudhistira ANM Massardi

James J. Heckman, pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi (2000), menegaskan, usia 0-3 tahun adalah periode paling penting bagi investasi untuk pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Namun inilah yang dilalaikan para orang tua, pemerintah, dan pengusaha di banyak negara, termasuk Indonesia. Maka kita pun gagal membangun generasi baru yang andal. Kita tidak bisamembawa warga negara—terutama kaum miskin yang merupakan populasi mayoritas—ke pintu sukses dalam kehidupan sosial ataupun ekonomi.

Berdasarkan sejumlah penelitian, Heckman menyimpulkan: kecerdasan kognitif saja tidak cukup untuk membuat seseorang berhasil dalam hidup. Sukses seseorang lebih ditentukan oleh kecerdasan nonkognisi (sosioemosional, kesehatan fisik dan mental, ketekunan, perhatian, motivasi, serta rasa percaya diri). Semua kemampuan itu hanya bisa dibangun jika rangsangan untuk itu diberikan sejak usia dini.

Usia emas

Penelitian tentang perkembangan otak membuktikan: kualitas kecerdasan dan karakter manusia ditentukan oleh “asupan” yang diberikan kepada anak pada usia 0-4 tahun (50 persen), usia 4-8 tahun (30 persen), dan usia 9-17 tahun (20 persen). Karena itu, 0-8 tahun disebut sebagai “golden age.” Kegagalan para orang tua dan pemerintah dalam memahami dan memaknai mahapentingnya usia emas terbukti menimbulkan bencana kemanusiaan. Kondisi “buta baca masalah”  ini hanya melahirkan angkatan (kerja) muda yang tak berkualitas— berakibat pada perlambatan pertumbuhan keterampilan angkatan kerja, dan merosotnya produktivitas serta daya saing—dan generasi baru yang berkarakter buruk (antisosial, kriminal, serta destruktif).

Secara ekonometri, Heckman menunjukkan langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas SDM pada saat calon angkatan kerja mulai dewasa (usia pelajar/ mahasiswa) jauh lebih mahal ketimbang merangsang kemampuan anak sejak usia dini. Lebih dari itu, daya“kembali modal” (return to investment) dari mereka yang kemampuannya terbangun sejak usia dini jauh lebih cepat ketimbang mereka yang diberi berbagai pelatihan tatkala sudah dewasa atau menjadi karyawan baru.

Di titik inilah fakta rendahnya kualitas SDM bertemu dengan dilema pengiriman tenaga kerja Indonesia, yang sebagian besar hanya menjadi buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Dan solusi dari pemerintah selalu hanya bersifat reaktif, parsial, darurat, dan temporer, tidak substansial. Misalnya, sekarang dianggarkan Rp 15 triliun lebih untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri agar pengiriman TKI bisa dihentikan.

Penciptaan lapangan kerja memang mutlak dan menjadi kewajiban konstitusional negara. Untuk itu, yang diperlukan adalah program jangka panjang yang berkesinambungan dan lintas sektoral, bukan langkah akrobatik para badut yang kebakaran jenggot. Pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kesehatan rakyat adalah substansi dari segalanya.

Belajar dari orang utan

Namun data pada 2003/2004 menunjukkan, dari 28.235.400 jumlah penduduk anak usia dini, yang bisa terserap di tingkat pendidikan PAUD hanya 7.915.912 anak (28,04 persen). Artinya, lebih dari 20 juta anak terabaikan. Menurut Sensus2010, populasi anak usia 0-14 tahun kini mencapai 64,1 juta jiwa (lebih dari separuhnya dalam usia emas 0-8 tahun). Namun Direktorat PAUD Kementerian Pendidikan Nasional hanya diberi alokasi anggaran Rp 1,3 triliun. Bandingkan dengan anggaran untuk program sertifikasi 3,4 juta orang guru yang mengajar 56 juta siswa (sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas) yang mencapai Rp 70 triliun!

Sertifikasi adalah sebuah program yang dimaksudkan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Namun sejatinya hanya, lagilagi, merupakan pemberhalaan terhadap domain kognisi yang menyesatkan, dan selembar kertas bernama ijazah, yang banyak terbukti tidak ada hubungannya dengan kualitas! Program “gelar karbitan”yang menghamburhamburkan uang itu harus dihentikan, digantikan dengan pola rekrutmen guru yang lebih baik dan terencana.

Maka, harus ditegaskan sekali lagi, jika pemerintah melalaikan pembangunan anak usia dini, itu artinya sama dengan penganiayaan dan penyia-nyiaan sumber daya dan martabat bangsa! Jika pemerintah tak mau juga belajar dari pemenang Hadiah Nobel, atau dari para pakar perkembangan otak dan perkembangan anak, mungkin bisa belajar dari komunitas orang utan di Kalimantan. Para ibu orangutan baru mau melepaskan bayi dari susuannya setelah sang anak berumur 7 tahun. Sebab, pada waktu itulah si anak memiliki cukup kemampuan dan “pengetahuan”untuk bisa survive di dalam rimba.

Pertanyaannya, jika para orang utan saja bisa memaknai mahapentingnya pendidikan dan pengasuhan anak pada “usia emas,” apakah pemerintah (eksekutif dan legislatif) tidak?[] (Koran TEMPO, 3 Agustus 2011).