Guru belajar pada murid. Ini bukan kalimat mutiara hikmah, nasihat bijak, atau sejenisnya. Tapi, itu salah satu prinsip cara kerja guru-guru Sekolah Batutis Al-Ilmi di Pekayon Bekasi, yang saya pelajari saat magang menjadi guru Bahasa Indonesia kelas III dan kelas IV pada tahun belajar 2011-2012. Setiap pagi, saat berangkat dari rumah menuju sekolah, guru bertanya, “Hari ini saya belajar apa dari murid-murid?”
Melekat dengan tugas menemani anak-anak belajar di sekolah, belajar adalah tugas utama guru. Guru belajar tak pernah henti tentang tema-tema pembelajaran anak-anak. Terkadang, saat pembahasan materi tema yang sepertinya telah dipersiapkan dengan sempurna bahkan sejak perencanaan dan penyusunan dokumen meteri kurikulum di awal tahun, tiba-tiba anak menyodorkan pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh guru secara meyakinkan.
Dalam keadaan seperti itu, bagi guru Batutis, bukan aib untuk mengatakan kepada anak, “Maaf, Bapak/Ibu belum tahu jawabannya. Bisa beri waktu satu (atau dua, atau tiga) hari untuk mencarinya?” Dan, janji itu harus ditepati, karena hal-hal yang terkait dengan curiosity-nya sendiri, anak punya daya ingat yang kuat, sehingga tidak akan lupa untuk menagihnya.
Tentu saja, guru tidak dibebani untuk menjadi ensiklopedi yang siap kapanpun memberi jawaban. Karena itu, tak ada alasan sedikitpun untuk merasa superior, merasa seolah-olah “menjaga martabat” jika mampu mengalahkan anak-anak. Apalagi dengan cara mengarang jawaban atau mencela pertanyaan murid. Justru kebohongan adalah dasar jurang kenistaan guru.
Itu baru dari aspek pengetahuan. Tak boleh disepelekan sedikitpun, guru juga punya amanah mencerna apa hambatan yang dihadapi anak dalam pembelajaran. Apa hambatan anak dalam mencapai tahapan-tahapan kognitif alamiahnya? Apa hambatan anak dalam membangun kematangan emosi? Apa hambatannya dalam bergaul, berkomunikasi, berperilaku sehat dan seterusnya? Semua itu adalah proses-proses yang dinamis, dipengaruhi oleh keadaan dan lingkungan yang selalu dinamis. Maka, tak ada ceritanya guru khatam belajar (ini berlaku juga tentu saja bagi orangtua).
Nah, pelajaran terberat yang saya rasakan selama magang menjadi guru dan sampai sekarang adalah belajar tentang marah dan mengendalikan amarah. Oh, ya, di Sekolah Batutis dan sekolah-sekolah lain yang menggunakan Metode Sentra, guru dilarang melakukan “3 M” terhadap anak, yakni Menyuruh, Melarang, dan Marah.
Kalangan yang berprofesi pendidik barangkali sudah sangat hafal tentang eksperiman Dr. Lise Eliot, yang menggambarkan efek marah pada otak. Sel-sel otak yang sudah dijatah Tuhan sejak lahir dan tak pernah bertambah lagi bisa berguguran, mati, akibat terpaan amarah. Artinya, sel-sel otak amanah Tuhan itu tak tergantikan lagi. Bukan hanya berlaku bagi anak atau orang yang dimarahi, tapi juga bagi orang yang marah sendiri.
Marah adalah keadaan ketika seseorang sedang tidak mampu berkuasa atas dirinya sendiri. Dirinya sedang dalam penguasaan oleh hawa nafsu. Karena itu, marah adalah keadaan lemah. Maka setiap keputusan yang dibuat dalam keadaan marah sesungguhnya adalah keputusan dengan dasar yang lemah, pondasi yang tidak kuat.
Sungguh mulia Muhammad Rasulullah s.a.w. mengajarkan bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan amarahnya. Rasulullah mengajarkan jika seseorang marah dalam keadaan berdiri, maka dianjurkan untuk duduk. Jika masih marah, dianjurkan untuk berbaring. Jika masih marah juga, bangkit dan mengambil air wudhu.
Ada satu rangkaian pengalaman tak terlupakan saat saya magang menjadi guru Batutis terkait dengan mengendalikan amarah. Di kelas III, saya punya teman (di Sekolah Batutis, guru memanggil murid dengan sebutan teman) pindahan dari sekolah lain. Pada pekan-pekan awal belajar, dia tampak tenang, bisa mengikuti prosedur kerja-belajar seperti teman-teman yang lain. Secara kognitif-akademik, perkembangannya tergolong lancar.
Tapi, itu tak berlangsung lama. Energi pemberontakan anak itu seakan tumpah selama berbulan-bulan, bahkan hingga memasuki semeseter genap. Bukan sekali dua, saya harus mengerahkan tenaga ekstra sambil memeluknya untuk menenangkan dia yang tiba-tiba terlibat perkelahian atau berusaha merusak perlengkapan kelas gara-gara masalah sepele.
Menurut hemat saya, itu terjadi setelah anak tersebut merasakan bahwa suasana belajar yang dibangun dengan Metode Sentra memungkinkan anak leluasa mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipkirkan. Guru bukan sebagai penghukum, tapi lebih sebagai teman bagi anak-anak untuk belajar tentang tanggungjawab dan konsekuensi atas apapun yang dilakukan. Sehingga kedisiplinan, misalnya, tidak dibangun dengan tindakan-tindakan represif guru tetapi dengan prosedur-prosedur yang disepakati bersama oleh anak-anak dan guru.
Ada tahapan-tahapan tindakan yang diterapkan guru terhadap perilaku anak yang dikenal dengan lima kontinuum (visually looking-on, non-directive statement, question, directive statement, physical intervention). Masalah ini dibahas secara komprehensif dalam buku Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra (Yudhistira Massardi dan Siska Yudhistira Massardi, 2012)
Saya? Hmmm….. sebagai guru magang, saya tentu saja tidak seperti rekan-rekan guru Batutis yang lebih “senior” yang sudah terampil menangani setiap gejolak dengan sabar, mulus dan lancar. Tapi, sekurang-kurangnya, ada komitmen kuat dalam hati saya untuk belajar tentang Metode Sentra, dan menjalankan prosedur-prosedur baku yang diajarkan Ibu Siska Yudhistira Massardi (Chief Trainer Metode Sentra Sekolah Batutis Al-Ilmi). Saya hanya berusaha sebaik mungkin menjalankan prosedur-prosedur itu.
Alhamdulillah, pada bulan-bulan akhir semester genap tahun 2012, anak itu terlihat jauh lebih tenang dan pembelajaran akademisnya pun lancar kembali. Saya merasakan kebahagiaan yang terlukiskan saat disambut oleh anak itu dan teman-temannya ketika datang untuk melihat pameran Batutis Fair Mei 2015. Dengan penuh ketenangan dan kewibawaan mereka mengantar saya berkeliling menyaksikan hasil-hasil karya anak Batutis. Ketenangan dan kewibawaan anak-anak yang bersiap-siap mengakhiri masa belajar di Sekolah Batutis.
Itu saja, dan saya masih harus belajar lebih banyak lagi tentang bagaimana mengendalikan amarah.
[Artikel ini sudah pernah dimuat di blog pribadi dengan judul sama: Belajar tentang Amarah]
Luar biasa pak Yanto. Saya saja masih beberapa kali kelepasan untuk menahan amarah ke Afiqah. Memang butuh pengendalian diri yang luar biasa. Salut buat guru-guru di Batutis. Guru-guru (seperti) Malaikat.
Begitulah, Pak Ading, saya masih harus terus belajar, mengasah kesabaran. Batutis adalah universitas kehidupan.