Semasa SMA, saya punya guru Bahasa Indonesia yang tergolong artikulatif dan menarik, walau jarang, kalau bukan tak pernah, menghadirkan unsur canda atau sesuatu yang lucu. Cenderung serius. Tapi, penjelasannya tidak membosankan.
Di masa itulah, saya baru diperkenalkan dengan jenis-jenis karangan, yang nama-namanya adalah kata serapan dari Bahasa Inggris. Deskripsi, narasi, eksposisi, persuasi dan argumentasi. Hanya saja, materi itu, seingat saya, tidak diajarkan secara mendalam.
Dugaan saya, kurikulumnya waktu itu mungkin menggariskan materi jenis karangan sekadar semacam pengenalan. Proporsinya jauh di bawah materi logika-logika tatabahasa, misalnya. Buku pelajaran untuk tatabahasa pun terbilang padat, karangan ahli linguistik terkenal, Gorys Keraf.
Walau di jurusan IPA, “kenangan” pelajaran Bahasa Indonesia masa SMA itu masih lumayan banyak tersimpan di memori saya. Malah, pelajaran Matematika dan rekan-rekannya di bidang IPA sudah menguap, karena di kemudian hari saya ternyat hanya diterima belajar di jurusan Bahasa Inggris.
Yah, sebut saja itu semacam ketidakjelasan jalan hidup atau apalah. Tidak penting. Yang penting sekarang masih bisa belajar apa saja yang berguna. Termasuk dalam waktu sekitar dua tahun terakhir ini, dapat kesempatan belajar menjadi guru Bahasa Indonesia tingkat Sekolah Dasar. (Tak usah dikomentari keanehannya.) Saya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuknkelas IV, V dan VI di SD Batutis Al-Ilmi.
Di sore hari menjelang akhir pekan ini, tiba-tiba pikiran saya membentur ke kosakata “jenis karangan.” Sebetulnya berkali-kali pikiran ini muncul-tenggelam. Kira-kira sejak mengetahui bahwa anak sulung saya saat di SD (sekarang sudah kuliah) sudah belajar tentang jenis-jenis karangan. Ya, materi yang dulu saya pelajari saat SMA. Sampai sekarang, silabus, buku teks pelajaran, kisi-kisi soal, dan contoh-contoh presentasi guru Bahasa SD, semuanya mengandung materi tentang jenis karangan.
Apakah anak SD zaman sekarang lebih maju ketimbang anak SMA zaman dahulu dalam penguasaan materi Bahasa Indonesia? Silakan, yang berselera, untuk berdebat menjawab pertanyaan itu. Saya sendiri tidak. Sebab, problem yang ada di depan mata saya, juga berdasarkan penuturan sejumlah rekan guru Bahasa Indonesia SD, yang urgen saat ini adalah membangun basis tradisi, kemampuan, dan kemandirian membaca. Bahkan saya berani mengatakan problem ini juga berlaku di tingkat SMP, SMA, sampai perguruan tinggi!
Saya sedang berikhtiar menjadikan pelajaran Bahasa Indonesia sebagai kegembiraan membaca, dan untuk itu, saya tidak bisa tidak harus berani berpaling dari bentuk-bentuk “target materiil” kurikulum dan buku teks, paling tidak untuk sementara.
Sekurang-kurangnya, saya melihat ada gejala perubahan sikap yang positif pada anak. Misalnya, pada anak kelas IV, saya mulai dengan buku cerita bergambar dengan proporsi teks minim.
Mula-mula ada rajukan sejenis, “Pak, panjang sekali,” yang disampaikan melalui feedback orangtua, karena masih belajar daring. Dalam beberapa minggu, saat wujud bahan bacaan sudah dengan proporsi teks padat, saya merasakan semacam getaran antusiasme ketika membaca representasi yang mereka tuliskan. Dalam hal ini, saya sengaja tidak memberi feedback dalam bentuk salah-benar, tapi memotivasi mereka untuk terus menemukan hal-hal yang menarik dari apa yang mereka baca.
Pada kelompok Kelas V dan VI, kesadaran tentang perlunya melahap teks padat relatif sudah lebih bagus, meskipun ada sebagian anak yang masih struggle membaca. Paling tidak, sampai akhir semester ganjil ini, saya masih terus berikhtiar menggembirakan baca.
Logika saya sederhana, common sense: tanpa kemampuan dasar membaca yang bermakna, pengetahuan yang dihimpun berjubel-jubel TENTANG materi bahasa Indonesia tidak akan bermakna apa-apa. Termasuk ketangkasan menyebut nama-nama jenis karangan itu tadi. Tapi, dengan keterampilan membaca yang tumbuh dengan baik, semua pengetahuan itu bisa dihimpun sendiri oleh anak.
Bayangkanlah anak menghafal jenis-jenis mangga: mangga golek, seren, kopyor, putih, gadung… dan entah apa lagi. Hafal. Tapi, tak pernah tahu atau merasakan karena di pasar dan toko buah hanya ada tiga jenis buah: harum manis, manalagi dan indramayu. Apalagi gurunya sama-sama belum pernah memakannya.
Begitu pun, kalau anak tidak pernah diajak membaca bermacam-macam karangan dan menikmati rasanya: dia hanya akan merasakan mangga yang paling murah… eh… maaf… kok jadi mangga lagi.
Quiz of the day: termasuk jenis karangan apakah tulisan di atas?
Karangan narasi Pak Yan. Eh, toko buah di Mesir menjajakan aneka mangga lebih dari 3 jenis loh hehe
Ngomongin karangan ada kesalahan redaksi sepertinya, kemampuan jadi kampuan, alinea ke-13 🙏
Terimakasih, ya Bu Rahmatiyah. Segera diedit. Semoga sehat selalu bersama keluarga. Mangga di Kairo jenis lokalkah, atau dari Indonesia? Banyak teman guru yang terheran-heran dengan ragam jenis mangga yang saya sebutkan.