• Mon. Sep 16th, 2024

Metode Sentra

Membangun Karakter dan Budi Pekerti

Pada 23 April 2016 lalu, media online Kompas.com menurunkan berita dari sebuah diskusi yang antara lain membahas masalah kenapa lulusan perguruan tinggi semakin susah mendapatkan pekerjaan. Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal mengemukakan keharusan desain ulang konsep perguruan tinggi agar lulusannya mudah diserap industri. Pakar pendidikan Arief Rachman menyoroti kualitas lulusan perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri adalah akibat kesalahan sistem pendidikan Indonesia selama 20 tahun.

Suram dan menakutkan menyimak paparan para narasumber. Lebih menyeramkan, per 1 Januari tahun ini, para lulusan perguruan tinggi Indonesia juga harus bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara ASEAN karena berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebagai bukan sesiapa yang awam bin fulan, saya tak sanggup membayangkan kapan, dari mana dan bagaimana memulainya perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mendesain ulang konsep. Sementara itu, bagaimana dengan 400 ribu sarjana pengangguran yang sudah ada, dan setiap tahun kamar sesak mereka disesaki tambahan 200 sarjana baru?

Maka, yang seketika berkelebat dalam pikiran saya adalah pertanyaan konyol: apa iya sih, pendidikan itu harus didesain untuk memenuhi kebutuhan industri? Mengapa pendidikan tidak boleh didesain untuk mengantarkan anak-anak Indonesia menjadi para kreator industri? Kedua pertanyaan konyol ini muncul seraya membayangkan sedang kongkow-kongkow menikmati kopi St*b*uck, atau melumat cokelat oleh-oleh teman dari Singapura, atau mengunyah kentang goreng (ya, kentang goreng yang berganti nama menjadi french fries), atau apa sajalah yang mahal karena bukan bikinan orang Indonesia.

Pasti ada yang bilang, “Ya minimal para sarjana Indonesia harus memenuhi kualifikasi jadi pegawai industri-lah. Kalau bisa jadi kreator industri, itu lebih bagus.” Lha, kalau desainnya untuk diterima jadi pegawai, bagaimana mau jadi kreator? Hasilnya ya seperti sekarang, misalnya mesin-mesin dan alat-alat pertanian yang dibutuhkan para petani Indonesia itu diimpor dari China atau bahkan Vietnam yang dulu belajar a-i-u-e-o pertanian dari Indonesia.

Coba, deh, renungkan ini: Kalau pendidikan hari ini didesain agar lulusannya bisa diserap industri, yang terjadi adalah:
– lulusannya akan selalu out of date dalam industri yang bergerak cepat
– jumlah lulusan akan semakin tak bisa diimbangi oleh jumlah kesempatan kerja

– arus besar teknologi, otomatisasi dan efisiensi industri juga akan terus meminggirkan kebutuhan tenaga manusia
– limbah pendidikan akan terus bertumpuk dan terus menggunung.

Jadi, suramnya masalah ketenaga kerjaan itu sesungguhnya bukan hanya urusan desain perguruan tinggi, tapi justru yang lebih penting adalah masalah pendidikan dasar,  primary education, yang mencakup periode sejak 0 tahun. Terus terang, saya katakan ini sama sekali bukan berarti saya ahli apapun, tapi saya adalah supporter para guru PAUD/TK/RA dan SD. SMP dan SMA juga, sih, asal mereka mau bersama-sama menolak Ujian Nasional.

yang hilang di sekolah
Alasan saya mendukung guru PAUD/TK/RA sampai SD beserta teman-teman sesama orangtua, karena di tangan merekalah inti pendidikan (primary education). Merekalah yang membangun pondasi bekal kehidupan anak-anak Indonesia. Dalam asuhan merekalah tergantung keselamatan potensi kekayaan yang dititipkan Tuhan, tapi terbukti dipangkas pelan-pelan oleh target kurikulum. Sebab, kalau tidak dipangkas, di negara ini pasti sudah ada industri-industri nomor satu di dunia yang menghasilkan produk-produk berbasis ribuan macam hasil laut, ribuan jenis kebun (sawit, mangga, jeruk, nanas, bambu, karet),puluhan jenis ladang palawija, dan…. banyak sekali. Pasti super power, karena kebutuhan umat manusia di dunia tersedia di Indonesia.

Nyatanya, selain pendidikan menghasilkan para pelamar kerja, yang tersisa dari kebun-kebun itu adalah nama kampung, nama desa, atau nama jalan. Ya, mau bagaimana lagi? Kita tunggu saja, siapa tahu desain ulang konsep perguruan tinggi memang cespleng.

[Artikel ini sudah pernah dimuat di blog pribadi dengan judul sama: Menyiapkan Pekerja yang tidak Mendapat Pekerjaan]

One thought on “Menyiapkan Pekerja yang tak Kebagian Pekerjaan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *