Keinginan untuk menulis renungan tentang tema “empati” ini sebetulnya sudah terpendam cukup lama. Di pekan terakhir Januari lalu, saya berkesempatan mengikuti “pengajian” khusus para guru Sekolah Batutis Al-Ilmi, Pekayon, Bekasi. Menu utamanya adalah oleh-oleh Chief Trainer Metode Sentra Ibu Siska Massardi dari konferensi pendidikan anak usia dini di Jakarta, yang menampilkan duo international speakers dari Tallahassee, Florida, Dr. Pamela Phelps dan Dr. Laura Stannard.
Saat konferensi berlangsung, terjadi serangan bom teroris berjarak tak sampai lima kilometer. Tema yang dibawakan Phelps begitu relevan dengan peristiwa itu, sehingga ia sempat berkomentar bahwa teror, ekstremisme, sebagaimana keculasan, penipuan, korupsi, dan berbagai kerusakan di masyarakat adalah bentuk-bentuk manifestasi dari kegagalan pendidikan dalam membangun sikap empati. Phelps menekankan betapa krusialnya membangun sikap empati pada anak sejak usia dini agar menjadi karakter yang permanen.
Sering dalam hidup keseharian, anak mendapatkan stimulus sekaligus contoh dari orang dewasa yang bisa mengikis sikap empati. Misalnya, tertawa ketika anak terjatuh atau melihat orang lain jatuh, atau menertawakan kesalahan yang dilakukan anak.
Ketika anak menertawakan temannya yang jatuh, maka orang dewasa yang bersamanya harus menyampaikan dengan bahasa yang tegas (firm) namun tidak kasar, bahwa tidak ada yang lucu, atau tidak ada yang patut ditertawakan. Begitu pula, misalnya dalam kelas, ketika seorang anak tidak tepat menjawab pertanyaan, lalu teman-temannya tertawa, guru harus segera mengingatkan.
Meremehkan perasaan anak juga berakibat negatif bagi pembangunan sikap empati. Contohnya begini: Seorang anak menangis karena kehilangan uang atau benda yang sangat disayanginya, atau karena terjatuh dan kakinya lecet. Jika dia mendapat respons, “Ah, cuma gitu aja kok menangis.” Maka, dia mendapatkan pemahaman untuk tidak usah berempati pada kesedihan orang lain. Sebaliknya, bila kesedihannya dihargai, misalnya, dengan ungkapan, “Ya, saya bisa mengerti kamu sakit/sedih,” maka dia merasa dihargai. Dan dalam keadaan seperti itu, pesan yang disisipkan akan mudah diterima, misalnya, “Kamu perlu lebih berhati-hati.”
Bahkan, tidak bereaksi (inaction) ketika anak melakukan hal yang tidak tepat atau tidak patut, adalah bentuk persetujuan (consent ), yang pada akhirnya akan terbangun menjadi konsep. Mengapa? Karena periode usia dini adalah periode anak menjadi pengamat, peneliti dan peniru yang dahsyat. Anak tidak dalam kapasitas untuk memilah mana yang baik, mana yang buruk. Dan itu termasuk persetujuan dari orang dewasa yang ada di dekatnya.
Phelps memberi contoh suatu hari seorang anak di TK di Creative Preschool, Tallahassee, menyentuhnya di bagian (maaf) pantat. Phelps lalu meraih anak itu, memegang kedua bahunya, dan dengan posisi muka berhadapan sejajar, Phelps berkata kepada anak itu untuk tidak mengulanginya, “Jika kamu membutuhkan bantuan saya, kamu bisa berbicara.”
Ada contoh lain yang diberikan Phelps. Suatu hari, ia mengikuti sebuah misa di Gereja Kathedral London, yang dihadiri ribuan orang. Di tengah khikmadnya para jemaat mendengarkan khotbah, tiba-tiba salah satu pintu di dekatnya duduk terbuka. Seorang anak kecil berlari melewati pintu. Ratusan pasang mata kontan menoleh ke sana. Yang membuat Phelps sangat jengkel adalah, orangtua anak itu hanya bereaksi dengan suara “Ssssssst…..” seraya menempelkan jari telunjuk di mulutnya. Seharunya, kata Phelps, orang itu keluar dari ruangan, dan tetap berada di luar menjaga anak tersebut. Benar-benar tidak punya empat, kata Phelps.
Kata empati begitu sering digunakan orang. Bisa dikatakan empati (apapun istilahnya) adalah ajaran setiap budaya, sistem tradisi, atau agama di seluruh dunia. Ternyata tidak cukup. Sebab, empati membutuhkan proses panjang pembangunan by design, berkesungguhan, dan keterlibatan terpadu orangtua, sekolah dan masyarakat.
[Artikel ini sudah pernah dimuat di blog pribadi dengan judul sama: Membangun Sikap Empati Anak]