• Tue. Oct 15th, 2024

Metode Sentra

Membangun Karakter dan Budi Pekerti

Psikologi sebagai Bekal Guru

Setiap mahasiswa dalam program studi keguruan pasti belajar Psikologi yang dikemas dalam beberapa matakuliah. Ada Psikologi (umum), ada psikologi khusus atau bersifat terapan, seperti Psikologi Perkembangan, Psikologi Kognitif, dan tentu saja Psikologi Pendidikan. Sebagian mungkin ditambah dengan Psikologi Sosial dan Psikologi Agama. Apakah semua mata kuliah Psikologi itu benar-benar memberi manfaat langsung bagi guru saat menjalankan pekerjaan sehari-harinya sebagai pendidik?

Di atas kertas, mestinya setiap guru lulusan sekolah keguruan punya bekal lebih dari cukup untuk bekerja berdasarkan kaidah-kaidah baku yang dipelajari dalam berbagai matakuliah Psikologi. Itu berarti, setiap guru memiliki bekal buat menemukan solusi atas problem-problem kontekstual belajar anak, baik secara intelektual maupun emosional. Apakah demikian yang terjadi?

Psikologi Sebatas Pengetahuan

Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan guru, saya mendapat kesan (juga saya rasakan sendiri sebagai lulusan sekolah keguruan), hasil pokok belajar Psikologi adalah nilai ujian A, B, C, D dan seterusnya dalam rangka perburuan indeks prestasi kumulatif (IPK). Bagaimana penerapannya dalam tugas mengabdi sebagai guru? Atau yang lebih personal, apakah ILMU PSIKOLOGI dari bangku kuliah bahkan terasa khasiatnya bagi para guru dalam mendidik putera-puteri mereka sendiri dalam keluarga? Saya tidak sungkan-sungkan untuk menjawab TIDAK.

Mengapa demikian? Karena materi kuliah Psikologi tidak mengerucut menjadi “alat kerja” operasional bagi guru, menjelma menjadi pedoman praktikal dalam kelas (classroom practices), dan menjadi semacam peta untuk mengetahui sampai di mana progress anak. Teori-teori, tokoh-tokoh, definisi-definisi, dan sejarah Psikologi dibahas secara berlimpah ruah, tapi penerjemahannya dalam dunia nyata di ruang kelas kurang, atau malah tidak diperhatikan sama sekali.

Jadi, materi kuliah Psikologi itu lebih mirip buku bacaan pengisi waktu bagi para calon “ahli” bidang tertentu yang berlatih untuk tampil di depan kelas. Entah itu “ahli” matematika, sains, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sejarah, geografi, seni, olahraga, teknologi informasi…. apa saja. Mereka harus menguasai bidang keahlian masing-masing, tapi tak terlalu banyak  berurusan dengan masalah siapa dan bagaimana murid-murid yang akan mereka didik (Psikologi Anak); bagaimana cara para murid belajar; apa kemungkinan problem-problem kontekstualnya; apa potensi-potensi kendalanya, dan bagaimana cara mengatasinya.

Lho, bukankah ada perencanaan, strategi belajar-mengajar dan evaluasi? Lagi-lagi, bagian-bagian yang bersifat operasional ini pun lebih fokus pada penyerapan pengetahuan. Sudah begitu, dalam perkuliahan, mahasiswa masih dijejali seabrek-abrek teori, lalu diakhiri dengan blanko isian baku warisan turun-temurun. Bukan sejenis rancangan yang dihasilkan, misalnya, dari  temuan-temuan otentik saat mahasiswa melakukan praktik kerja lapangan.

Guru Merancang Materi Kurikulum

Maka, tidak mengherankan bila banyak guru hanya bisa terguncang ketika ada perubahan kebijakan seperti kurikulum. Mengapa itu terjadi? Karena guru memang lebih disiapkan untuk sangat tergantung pada panduan baku, ketimbang membuka diri pada situasi-kondisi objektif dan menemukan solusi-solusi kreatif atas setiap problem yang muncul.

Solusi-solusi kreatif berurusan dengan cara pandang dari sisi murid, bagaimana cara murid belajar, problem belajar, kendalanya dan seterusnya, bukan sekadar menjadi “ahli” di bidang-bidang tertentu. Itulah urusan Psikologi, yang dalam praktinya lebih sering “diserahkan” kepada guru BK (Bimbingan dan Konseling). Yang sangat menyedihkan, bahkan banyak guru yang tega menyalin begitu saja rencana pembelajaran dari guru lain untuk aktivitas belajar-mengajar yang akan dijalankannya.

 Siklus Alur Kerja Guru Sekilah Batutis Al-Ilmi

Guru Pengajar dan Pendidik

Tentu saja, kondisi itu tidak terjadi di semua sekolah. Banyak satuan pendidikan yang secara serius mengembangkan model pembelajaran dengan “memasukkan kembali” fungsi-fungsi multidimensi guru. Guru tidak diterima semata-mata sebagai pengajar “ahli”, tapi juga pendidik dalam arti yang sebenarnya. Biasanya, itu dilakukan melalui bermacam-macam pelatihan, yang terkadang memerlukan pembongkaran secara radikal pola pikir (mindset) guru lulusan sekolah keguruan.

Sekolah-sekolah dengan komitmen kuat pada “penghadiran Psikologi” dalam praktik pendidikan biasanya berakar pada pengaruh gerakan pencarian model pendidikan alternatif yang merebak di dekade 1960-an. Di Inggris, seperti digambarkan David Elkind dalam buku Child Development and Education (2001), gerakan itu muncul dalam “pendekatan informal” untuk sekolah-sekolah dasar.

“Pendekatan informal” yang belakangan lebih dikenal dengan jargonnya, yakni pendidikan yang “berpusat pada anak” (child-centered), bertumpu terutama pada basis teori  konstruktivis Jean Piaget (berkat karya-karya Nathan Isaacs, 1959). Di Indonesia, pengaruh ini terjelma dalam Kurikulum 1984 yang lebih dikenal dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).  Namun, itu tidak berlangsung lama karena “tradisi ganti menteri ganti kurikulum.”

Secara sporadis, gerakan alternatif tetap muncul melalui kehadiran model-model sekolah seperti Montessori, Highscope, Sekolah Alam dan lain-lain. Tak boleh dilupakan, masuk dalam kategori ini adalah tradisi pendidikan pesantren. Tidak semua pesantren, tentu saja, tapi hanya pesantren yang keukeuh tidak membenamkan diri dalam ideologi seragam EBTANAS atau Ujian Akhir Nasional.

 

Peserta Pelatihan Metode Sentra Modul III di Sekolah Batutis Al-Ilmi

Merancang Materi Kurikulum

Sekolah-sekolah seperti itu lebih mandiri dalam hal desain penyampaian materi kurikulum, yang tidak terlalu tergantung pada kebakuan dari atas. Sekolah-sekolah seperti itu praktis terbiasa merancang materi kurikulum mandiri, sebagaimana spirit Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Sehingga, ketika terjadi perubahan kebijakan akibat pergantian rezim politik, para guru tidak terlalu terguncang. “We are the captains of our own journeys”.

Sekolah Batutis Al-Ilmi di Pekayon Bekasi dan sekolah-sekolah lain yang sudah hijrah ke model pembelajaran Metode Sentra termasuk dalam kategori tersebut. Salah satu ciri menonjol sekolah Metode Sentra adalah kehadiran Psychology in the Classrooms. Setiap guru, sekali lagi SETIAP GURU, bekerja dan berkolaborasi dengan kaidah-kaidah dan panduan  yang diterjemahkan dari teori-teori dan hasil-hasil kajian yang sudah mapan di bidang psikologi.

Selain itu, desain materi dan penyampaian kurikulum selalu dinamis. Baik dalam skala tahunan maupun bulanan, mingguan dan harian, kurikulum disusun dan dikembangkan berdasarkan situasi, kondisi, kebutuhan dan problem aktual. Situasi dan kondisi aktual itu dijabarkan dari hasil observasi harian yang didokumentasi dan dianalisis untuk menghasilkan peta pencapaian anak pada akhir periode belajar tertentu.

Dalam observasi harian, guru merekam perkembangan yang dicapai setiap anak dengan cakupan aspek yang luas. Di antaranya penguasaan materi, bahasa, kecerdasan jamak, 18 sikap, tahap perkembangan psikologis dan lain-lain. Sehingga, di akhir periode belajar tertentu, hasil evaluasi belajar setiap murid tidak hanya berupa rapor konvensional yang bertitik berat pada pencapaian kognitif, tapi juga portofolio hasil-hasil kerja murid, dan peta pencapaian menyeluruh (curricular domain web). Peta itu mencakup lima domain: kognitif, psikomotorik, afektif, bahasa dan aestetik.

 

 

Pameran Hasil Karya Murid Sekolah Batutis Al-Ilmi

Karena setiap guru terlibat dalam observasi harian, maka para guru Metode Sentra memiliki bekal untuk membangun kerjasama yang sinergis, baik secara internal antarguru, maupun secara eksternal dengan para walimurid.  Dengan rapat kerja harian guru yang intensif, setiap problem belajar yang muncul bisa ditangani pada kesempatan pertama. Semua ini tidak mungkin terjadi jika guru hanya menjalankan fungsi “keahlian” spesifiknya, datang ke sekolah hanya dalam rangka menuntaskan target kriteria ketuntasan minimum (KKM).

Yanto Musthofa

5 thoughts on “Merumuskan Psikologi Menjadi Alat Kerja Guru”
  1. Assalamualaikum…. maaf mau tanya
    . Saya tertarik dengan kurikulum sentra dan saya pernah mengajar pada sentra IMT, apa di masa pandemi seperti ini ada lowongan kerja guru?? Jazakillah 🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *